Pada 918 Wang Geon menggulingkan Gung-Ye dan mendirikan negara Goryeo di tanah kelahirannya, Gaeseong. Sementara itu Raja terakhir Silla dan para bangsawannya tunduk kepada Wang Geon setelah diserang oleh Bakjae Baru. Tahun berikutnya Wang Geon menyerang dan menduduki Bakjae Baru sehingga Korea bersatu di bawah satu pemerintahan.
Raja pertama, Wang Geon bersikap hati-hati pada bekas bangsawan Silla. Ia menjadikan raja terakhir Silla sebagai gubernur di Gyeongju (Provinsi Gyeong). Selain itu Wang Geon membuat para petani kebal pada pajak di tiga tahun pertama dan kemudian mengurangi pajak mereka.
Raja Wang Geon meninggalkan “Sepuluh Aturan” sebagai wasiat politik bagi para penerusnya. Dokumen ini dibuka dengan pernyataan bahwa Dinasti Goryeo berhutang pada kebaikan Budha dan letak ibukota mereka yang strategis.
Setelah Raja Taejo (gelar dari Raja Wang Geon) wafat, muncul konflik antar golongan dalam menentukan penerus tahta. Golongan ini berasal dari berbagai kerabat Raja. Untuk mengurangi pengaruh dari keluarga kerajaan dan para bangsawan, Raja keempat Gwangjong mengatur ulang pemerintahan.
Pemerintahan terdiri dari tiga majelis dan enam kementrian. Ketiga majelis itu antara lain, sekretariat kerajaan, kedutaan kerajaan, dan sekretariat urusan negara. Enam kementrian terdiri atas kepegawaian, perperang, pendapatan, ritual, peradilan, dan pekerjaan umum. Pengaturan ulang ini akhirnya bertahan selama pemerintahan beberapa Raja selanjutnya dalam beberapa dekade.
Suku Khitan di Utara Michuria merupakan salah satu ancaman bagi Dinasti Goryeo. Pada tahun 916 seorang kepala suku Khitan menyatakan dirinya sebagai Kaisar Khitan. Diakhir abad ke 10 Khitan bertarung dengan berperang melawan Goryeo setelah menyerang Suku Jurched di Selatan Manchuria. Sementara itu, dengan munculnya Dinasti Sung di China, membuat
China keluar dari kebingungan politik mereka. Khitan yang takut dengan aliansi Sung dan Goryeo menyerang dengan 800.000 prajurit in 933. Tetapi mereka terhambat sungai Cheongcheon, dengan kesepakatan kedua belah pihak, Khitan mundur ke Sungai Yalu.
Di tahun 1010, Khitan yang menamai diri mereka Dinasti Liao, menyerbu Goryeo dengan 400.000 prajurit untuk menunjukan ketidaksetujuan mereka terhadap konflik di dalam keluarga kerajaan. Mereka berhasil menguasai ibukota
Gaeseong, tetapi tenyata tentara Goryeo menyerang balik mereka dari belakang persembunyian mereka di Kuju. Goryeo menang dibawah pimpinan jenderal Gang GamChan. Setelah itu Khitan menyerah dengan ekspansi militer ke Goryeo, dan mereka mulai pertukaran utusan
Kesejahteraan rakyat Goryeo terutama bergantung pada perdagangan dalam dan luar negeri. Perdagangan Goryeo yang paling penting adalah dengan Cina, Jepang, dan Khitan. Barang impor utama dari Cina antara lain sutera, keramik, buku, obat,alat musik, dan sebagainya, sedangkan barang ekspor ke Cina antara lain emas, perak, tembaga,gingseng, biji pinus, kulit binatang, baju sutera, kertas, pisau dan lain-lain.
Di dinasti Goryeo, sistem "Bone Ranks" dari aristokrasi Silla telah menghilang, digantikan sebuah golongan baru yang terdiri dari klan kerajaan atau keluarga yang didedikasikan diri untuk berdirinya dinasti baru, dan penguasa lokal yang kuat. Golongan ini disebut sebagai Yangban yang berarti pejabat sipil dan militer.
Budha adalah agama dominan pada Dinasti Goryeo. Setiap keluarga didorong untuk memiliki beberapa anak yang menjadi biksu, bahkan. Buddha menekankan perlindungan negara serta keselamatan individu.
Ada banyak biksu yang terkenal pada Dinasti Goryeo, tetapi biksu yang paling berdedikasi bernama Uicheon. Ia memperkenalkan sekte baru dalam ajaran Budha setelah kembali dari Cina yang dikenal sebagai Cheonta.
Pada Dinasti Goryeo, Konfusianisme tetap memberikan pengaruh dominan dalam etnis sosial, pendidikan, dan pemerintah. Selama reformasi pemerintahan, sekolah yang didukung oleh pemerintah dibentuk untuk mendidik pejabat masa depan. Pada abad ke sebelas, sebuah sekolah swasta yang didirikan oleh seorang sarjana terkemuka,Cheo Chung.
Kelompok suku yang disebut Junched mendiami daerah di Manchuria selatan dan di perbatasan Korea. Mereka tunduk pada pemerintahan Khitan dan terkadang menyerbu teritori Goryeo. Pada abad kesebelas, Jurched menjadi cukup kuat memperpanjang kekuasaan ke selatan. Tentara Jurched sampai dan menyerang utara Goryeo pada tahun 1104. Tentara Jurched diarahkan ke Jongpyeong oleh tentara Goryeo dibawah komando Yun Gwan.
Junche kemudian berbalik menyerang pemerintahan Khitan dari Dinasti Liao. Banyak daerah Liao dikuasain oleh Junched. Seorang pemimpin Jurched, A-ku-ta menyatakan dirinya sebagai pendiri dan kaisar dari Dinasti Chin pada tahun 1115. Chin membuat aliansi dengan dinasti Sung di Cina untuk menyerang Dinasti Liao. Setelah Cing menaklukkan Liao, mereka segera kembali ke cina dan melarikan diri ke bagian selatan Sungai Yangtzs membentuk Dinasti Sung Selatan. Setengah dari bagian utara Cina berada di bawah kekuasaan Chin memberikan tekanan berat bagi Goryeo.
Perebutan kekuasaan kerajaan terjadi di pengadilan selama abad kedua belas. Keluarga Yi, yang memiliki hubungan besan dengan keluarga kerajaan,telah mendominasi pengadilan selama delapan puluh tahun. Kekuatan mereka mencapai puncaknya di bawah Yi Jagyeom, yang menduduki beberapa peranan penting dalam pemerintah setelah menjadi ayah mertua Raja. Raja membentuk komplotan rahasia dengan penasihatnya untuk penghapusan Yi Jagyeom. Tapi Jagyeom memimpin tentara ke istana, membakarnya, menangkap musuh, dan mempenjarakan raja. Ini adalah saat dimana Dinasti Chin menuntut kekuasaan atas Goryeo. Yi Jagyeom mengakui kedominanan Dinasti Chin namun ini melemahkan posisinya di pengadilan, dan ia akhirnya ia diasingkan.
Setelah jatuhnya Jagyeom, seorang biksu bernama Myocheong memberitahukan raja bahwa ibukota kerajaan harus pindah ke Pyeongyang, di mana kekuatan dinasti akan berkembang. Raja memerintahkan pembangunan istana di Pyeongyang. Saat pemindahan ibukota terbukti cukup sulit, Myongcheong menyarankan raja untuk menyatakan dirinya sebagai kaisar dan menyerang Chin. Sementara itu di pengadilan muncul golongan yang menentang Myocheong. Myocheong melancarkan pemberontakan langsung di Pyeongyang dan menyatakan kerajaan baru yang disebut Daewi pada tahun 1135, namun ia ditangkap oleh seorang jenderal yang dikirim oleh pemerintah.
Tahun 1170, Jenderal Jeong Jungbu mengambil tindakan militer untuk beberapa alasan tidak penting. Dengan protes dari raja, istana diserang dan banyak bawahan dibunuh. Raja dan putra mahkaota diasingkan, dan adik Raja dijadikan pewaris takhta. Selama 26 tahun selanjutnya terus berlangsung rangkaian kudeta berdarah
Jeong Jungbu dan para pengikutnya menyita semua properti dari pengadilan dan seluruh jabatan penting dalam pemerintahan diisi oleh oknum militer. Jeong Jungbu dibunuh jenderal yang menggantikan dirinya karena penyakit selama empat tahun. Selama berlangsung kekerasan di pusat pemerintahan, ada serangkaian pemberontakan petani di daerah pedesaan yang menyebar secara nasional. Tentara dikirim untuk meredam pemberontakan ini.
Perebutan kekuasaan antar Jenderal diakhir oleh Jenderal Cheo Chungheon, yang mengambil kontrol penuh pemerintahan pada 1197. Dia mengasingkan pejabat tinggi, jenderal, pendeta Budha dan menggantikan mereka dengan kaki tangan yang setia. Bahkan raja selalu diganti untuk memenuhi tujuannya. Ada total lima orang raja yang memerintah selama masa kekuasaannya. Dia juga memaksa untuk mengembalikan kestabilan sosial dengan membuat pemberontakan petani menyerah.
Choe Chungheon membentuk pasukan 3.000 prajurit yang bertindak sebagai pengawal pribadinya dan untuk memantau semua kantor pemerintah. Langkah berikutnya adalah untuk membentuk sebuah organ pemerintah baru, dan pemerintahan militer di samping pemerintah raja. Raja kemudian menjadi boneka belaka tanpa kekuasaan nyata
Rezim Choe berlangsung sekitar 60 tahun. Choe U, putra sekaligus penerus Choe Chungheon, membuat pembaharuan dalam pemerintahannya. Tanah dan Budak yang disita oleh ayahnya dikembalikan pada pemiliknya. Orang terpelajar dan pejabat sipil kembali dilibatkan di pemerintahan. Militer diorganisasi dengan cara yang sama, tapi mereka ada dibawah kekuasaan dari pemerintahan militer Pribadi Choe. Selanjutnya rezim Choe berhadapan dengan ancaman Mongol dari Utara
Diambil dari : Korean Traditional Culture, Bab 2, bagian C
written by: Lee Kwang-Kyu
Edited by : Joseph P. Linskey
Translator English-Indonesia by : amey
Ada beberapa bagian yang tidak saya tulis, mengingat ini hanya untuk tugas saya :)